Motivasi imperialisme pemerintah Hindia Belanda atau Masuknya ke Indonesia adalah Gold, Glory, Gospel, yang berarti bahwa mereka bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kekuasaan dan untuk menyebarkan ajaran agamanya (Kristen). Ketiga tujuan tersebut begitu menyatu dan sulit dipisahkan. Dalam pandangan Belanda sebuah tujuan akan tercapai secara efektif jika dilakukan melalui jalur pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu wahana untuk menanmkan nilai-nilai atau ideologi kepada peserta didik. Belanda berprinsip bahwa pendidikan memungkinkan internalisasi kepada generasi pertama founding fathers, yang akan menjadi pemimpin bangsa. Penguasaan atas rakyat akan lebih mudah, jika pemimpinnya lebih dulu di”Belanda”kan. Sejak itulah politik dalam bidang pendidikan bermain.
|
Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan |
Pada awal abad ke-20 pemerintah mulai memandang bangsa Indonesia sebagai bangsa yang harus ditingkatkan kecerdasannya. Hal inilah yang membedakan dengan masa sebelumnya, pendidikan waktu itu mengalami stagnasi. Peningkatan pendidikan pada satu sisi adalah itikad baik dari pemerintah kolonial; namun di sisi lain itu adalah bentuk pengokohan kekuasaan di negeri jajahan. Itu terbukti, pendidikan yang diterapkan hanyalah untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi tenaga kerja terdidik untuk memenuhi peningkatan kebutuhan tenaga pegawai pemerintah. Lebih jauh, pendidikan adalah sebagai usaha penyatuan kebudayaan (asosiasi) dengan kebudayaan Belanda, maka terjadilah apa yang disebut politik konkordansi, yaitu penyamaan kurikulum pendidikan bagi pribumi dengan pendidikan ala Barat. Pada tahun 1903, Belanda menerapkan desentralisasi sebagai penerjemahan demokratisasi, dengan dibentuk volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat). Hal itu tetap tidak mengubah orientasi pendidikan yang sebelumnya bersifat sentralistik. Karena, meskipun telah dibentuk volksraad, semua keputusan akhir pada Gubernur Jenderal. Pendidikan orang-orang pribumi diselenggarakan seadanya, belum tersistem sebaik sekolah-sekolah Belanda. Selain itu bagi bagsa Indonesia, pendidikan diberikan syarat yang menyulitkan kaum lemah; sehingga dapat dikatakan dualisme yang ada didasarkan pada rasialisme.
Pemerintah Hindia Belanda menyadari semangat orang Islam sangat luar biasa, karena memang pemberontakan-pemberontakan banyak dilakukan oleh kaum muslim, khususnya para guru agama dan kaum santri. Untuk mengeliminir hal itu pemerintah kolonial membatasi gerak para guru agama dan kaum santri. Karena ruang geraknya pada bidang pendidikan, maka secara legal pemerintah mengeluarkan ordonansi guru dan kemudian ordonansi sekolah liar. Ordonansi guru yang dikeluarkan pada tahun 1904, diatur tentang pembatasan ijin bagi guru agama untuk melakukan aktivitasnya. Di Minangkabau, peraturan yang mengekang ditolak dengan perlawanan. Sedangkan di Jawa direspon dengan protes diam. Kemudian daerah Minangkabau dan lainnya yang berhasil lolos dari ordonansi guru, diikat dengan ordonansi sekolah liar. Ordonansi sekolah liar mengatur tentang penolakan ijin terhadap sekolah yang dianggap melanggar ketentraman dan ketertiban. Dan akhirnya guru agama di Minangkabau tetap menolaknya dan juga di Jawa. Tahun 1933, ordonansi tersebut dicabut. Pengekangan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam juga tidak lepas dari misi Kristen yang menyertai imperialisme Belanda.
Keadaan pada tahun 1900 sampai 1942 mengalami perubahan. Banyak sekolah-sekolah Belanda di Indonesia yang didirikan. Namun seiring munculnya sekolah-sekolah Belanda, menyebabkan beberapa kalangan mencurigainya. Karena pendidikan ala Belanda dapat mengubah pola pikir bangsa Indonesia, maka banyak kalangan yang tidak mau mengikuti. Bahkan ada yang mengatakan jika meniru sesuatu yang dipakai Belanda adalah kafir, karena menganggap apa yang dikeluarkan Barat bertentangan dengan ajaran Islam. Ada juga yang berusaha menyesuaikan dengan sistem pendidikan Belanda, misalnya seperti: sistem klasikal, pemakaian bangku dan papan tulis, memasukkan pelajaran umum ke dalam kurikulumnya.
Lembaga pendidikan yang ada pada tahun 1900 sampai tahun 1942, antara lain: keluarga, pesantren, madrasah, sekolah. Ada pesantren yang berdiri dengan modifikasi baru, dengan mendirikan madrasah di dalamnya, materinya tidak saja kitab-kitab Islam klasik, tetapi juga memasukkan bidang-bidang umum. Metode pengajarannya telah berkembang, metode sorogan dan halaqah ditambah metode-metode tertentu untuk beberapa pondok pesantren, ada metode musyawarah dan metode langsung. Sedangkan metode yang digunakan pada madrasah maupun sekolah tidak secara eksplisit dijelaskan oleh beberapa sumber (yang diambil dalam penelitian ini), tetapi yang jelas madrasah maupun sekolah memakai pengorganisasian dengan sistem klasikal. Sistem klasikal, seperti halnya yang diberlakukan sekolah maupun madrasah sekarang ini, siswa dibagi menurut tingkat-tingkat tertentu. Dimungkinkan metode pengajaran yang digunakan adalah ceramah, tanya jawab atau diskusi.
Materi pelajaran pada masing-masing lembaga terdapat perbedaan dan dalam satu macam lembaga pun terjadi variasi. Pada pesantren, terdapat pesantren yang masih mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (disebut sebagai pesantren salafi), ada yang mengganti dengan pengetahuan agama (tidak memakai kitab klasik) ditambah dengan pengetahuan umum (disebut sebagai pesantren khalafi). Pada madrasah, pengajaran pengetahuan agama lebih banyak daripada pengajaran pengetahuan umum. Dan pada sekolah, pengetahuan umum lebih mendominasi kurikulumnya.
ADS HERE !!!